Kegiatan
Belajar 1
LATAR BELAKANG
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Pendahuluan
engan diberlakukannya otonomi daerah sebagai
perwujudan Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
maka
sebagian besar kewenangan Pemerintah
Pusat dilimpahkan ke Pemerintah Daerah. Dengan otonomi dan desentralisasi, diharapkan masing-masing daerah termasuk masyarakatnya akan lebih terpacu untuk
mengembangkan daerah masing-masing
agar dapat
bersaing. Konsekuensi dari otonomi
dan
desentralisasi juga terjadi di bidang pendidikan.
Muara tujuan dari otonomi di bidang pendidikan adalah
peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia.
Ada sejumlah hal yang mendasari perubahan paradigma
penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik. Pertama, sistem penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan secara sentralistik
menyebabkan
tingginya ketergan-tungan kepada keputusan birokrasi. Padahal, kebijakan
pusat itu kerap terlalu
umum dan
kurang
sesuai
dengan
situasi
dan
sekolah.
Akibatnya,
sekolah pun menjadi kehilangan kemandirian, inisiatif, dan kreativitas yang pada akhirnya berdampak pada kurangnya motivasi untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan dan tata layanan pendidikan di sekolah. Kedua,
kebijakan penyelenggaraan pendidikan terlalu berorientasi pada keluaran pendidikan (output) dan masukan (input), sehingga
kurang memperhatikan
proses pendidikan itu sendiri.
Ketiga, peran serta masyarakat
terutama orang
tua peserta didik
dalam penyelenggaraan pendidikan masih kurang.
Berdasarkan
kelemahan-kelamahan tersebut di atas, perlu dilakukan reorientasi
penyelenggaraan pendidikan yang
sentralistik menuju desentralistik melalui penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah. Konsep MBS merupakan
salah satu kebijakan
nasional yang dituangkan dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000
tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, dan termuat
secara jelas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
Apa itu Manajemen Berbasis
Sekolah? Mengapa
MBS diterapkan? Apa tujuan
dan manfaat MBS? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan dipaparkan dalam KB 1 ini. Setelah mempelajari KB 1 ini, Anda diharapkan dapat:
1.
menjelaskan
pengertian MBS;
2.
menguraikan
secara singkat sejarah munculnya
MBS;
3.
menguraikan
motif penerapan MBS;
serta
4.
mengungkapkan tujuan dan manfaat penerapan MBS.
Untuk mencapai kemampuan itu, kegiatan belajar yang terdiri
atas dua pokok bahasan ini akan membahas
sejarah, serta
motif, tujuan, dan manfaat MBS. Masing-masing pokok bahasan
ini akan
dilengkapi
dengan
ilustrasi
yang berguna bagi Anda untuk
membantu
memahami
latar
belakang
MBS.
Agar dapat mempelajari
isi kegiatan belajr ini dengan baik, bandingkanlah uraian kegiatan belajar dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah
Anda. Selain itu, catatlah butir-butir penting dalam unit ini. Untuk memantapkan
penguasaan Anda terhadap materi ini, kerjakanlah latihan-latihan dan tes formatif yang tersedia.
Pokok Bahasan 1
Sejarah Manajemen Berbasis Sekolah
ada bagian ini Anda diajak untuk mengkaji berbagai pengertian
MBS sehingga dapat menyimpulkan pengertian
MBS yang paling relevan dengan kepentingan pendidikan di Indonesia. Di samping itu juga, Anda dapat mengkaji lebih mendalam
tentang sejarah munculnya
MBS.
Dengan
sajian
kedua
hal
tersebut, Anda diharapkan dapat mengaitkan
MBS dalam konteks
penyelenggaraan pendidik-an di Indonesia.
Pengertian
Manajemen
Berbasis Sekolah
MBS memiliki banyak pengertian, bergantung dari sudut pandang orang yang
mengartikannya. Nurkholis (2003:1), misalnya,menjelaskan
bahwa Manajemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah.
Pertama,
istilah manajemen memiliki banyak arti. Secara umum manajemen
dapat diartikan sebagai proses mengelola sumber daya secara efektif untuk mencapai
tujuan. Ditinjau dari aspek
pendidikan,
manajemen pendidikan diartikan sebagai
segala sesuatu yang berkenaan dengan
pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik
tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangka panjang. Kedua, kata berbasis mempunyai kata dasar basis atau dasar. Ketiga,
kata sekolah merujuk pada lembaga tempat
berlangsungnya proses belajar mengajar. Bertolak dari arti ketiga istilah itu, maka istilah Manajemen
Berbasis Sekolah dapat diartikan
sebagai segala sesuatu yang berkenaan
dengan pengelolaan sumber
daya
yang
berdasar
pada
sekolah
itu
sendiri
dalam
proses
pembelajaran untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Kalau Anda perhatikan makna berdasar
pada sekolah
itu
sendiri
adalah
pengelolaan sumber daya yang dimiliki sekolah
serta dikelola
dan dilakukan oleh
sekolah itu sendiri. Seperti yang telah diuraikan
dalam pendahuluan, makna ini tentunya
berbeda dari makna manajemen
pendidikan sebelumnya, yaitu bahwa
semua diatur dari pemerintah pusat (sentralistik).
Dengan demikian, Anda dapat melihat bahwa telah terjadi perubahan paradigm manajemen pendidikan di sekolah,
yang semula
diatur dan dikendalikan oleh pusat dan
birokrasinya (sentralistik), menjadi pengelolaan yang berdasar pada potensi atau kemampuan sekolah itu sendiri
(desentralistik). Dalam konteks desentralisasi,
sekolah mempunyai kewenangan penuh dalam
mengatur pendidikan dan pembelajaran, merencanakan, mengorga-
nisasikan, mengawasi, mempertanggungjawabkan, serta memimpin
sumber daya yang ada untuk mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Seperti halnya Nurkholis, Slamet PH (2001) mendefinisikan MBS dengan bertolak dari kata manajemen, berbasis, dan sekolah. Menurut Slamet, manajemen berarti koordinasi dan penyerasian sumber daya melalui
sejumlah input manajemen
untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan. Berbasis artinya
“berdasarkan pada” atau “berfokuskan
pada”. Sedangkan sekolah merupakan
organisasi terbawah dalam jajaran
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan “bekal kemampuan dasar” kepada peserta
didik
atas
dasar ketentuan-ketentuan yang
bersifat
legalistik
(makro, meso, mikro) dan profesiona-listik (kualifikasi,
untuk sumber daya manusia).
Atas dasar itu pula, Slamet menyimpulkan bahwa MBS adalah pengkoordi- nasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otonom (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input
manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan
melibatkan semua kelompok
kepentingan
yang terkait dengan sekolah secara
langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif). Kelompok kepentingan tersebut meliputi: kepala
sekolah dan wakil- wakilnya, guru, siswa,
konselor,
tenaga
administratif,
orangtua
siswa, tokoh masyarakat,
para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan.
Wohlsteeter, Priscilla &
Mohrman (1996) menyatakan
bahwa MBS berarti pendekatan politis untuk
mendesain ulang organisasi sekolah
dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah di tingkat lokal
guna
memajukan
sekolahnya.
Partisipan lokal itu terdiri
atas:
kepala
sekolah,
guru,
konselor, pengembang kurikulum, administrator,
orang tua siswa, masyarakat sekitar,
dan siswa.
Sedangkan
Myers
dan
Stonehill (1993) mengemukakan bahwa MBS merupakan
strategi
untuk
memperbaiki
pendidikan
dengan mentansfer
otoritas
pengambilan keputusan secara
signifikan dari pemerintah
pusat
dan daerah ke sekolah-sekolah secara individual. Penerapan MBS memberikan kewenangan kepada kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan msyarakat
untuk memiliki kontrol yang lebih besar dalam proses pendidikan dan memberikan mereka tanggung
jawab untuk mengambil
keputusan tentang anggaran, personil, dan kurikulum. Keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) lokal dalam pengambilan keputusan
akan dapat meningkatkan lingkungan belajar yang efektif bagi siswa.
Sementara itu, Ogawa & Kranz (1990:290) memandang
MBS
secara konseptual sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan
pendidikan
(governance) yaitu pada distribusi kewenangan pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi
yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari peningkatan dan kepercayaan, dan
juga sebagai alat
utama untuk meningkatkan partisipasi dan dukungan.
Beberapa kewenangan formal
adalah untuk membuat
keputusan sumber-sumber pendanaan (budget),
ketenagaan,
dan
program
yang didelegasikan dan
didistribusikan kepada orang-orang antarberbagai
level.
Beberapa struktur formal seperti kepala sekolah,
guru, orang tua, dan kadang-kadang siswa dan masyarakat sekitarnya yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga
dapat secara langsung dilibatkan
dalam pembuatan keputusan sekolah secara luas.
Senada dengan pengertian Ogawa & Kranz, Kubick & Katheleen (1988:2) menyatakan
bahwa
MBS
merupakan suatu sistem
administrasi
di
mana sekolah merupakan satuan yang utama dalam pengambilan keputusan bidang pendidikan.
Tanggung jawab untuk keputusan tentang anggaran, personil,
dan kurikulum ditempatkan di tingkatan sekolah
dengan memberikan
kontrol proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru,
siswa, dan orang tua.
Dalam buku Petunjuk Program
MBS, kerjasama
Pemerintah Indonesia,
UNESCO dan Unicef, dinyatakan bahwa MBS dapat dipandang sebagai suatu
pendekatan pengelolaan sekolah
dalam
rangka desentralisasi
pendidikan yang
memberikan
kewenangan yang
lebih
luas kepada
sekolah
untuk mengambil keputusan
mengenai pengelolaan sumber
daya pendidikan
sekolah
(manusia, keuangan,
material, metode, teknologi, wewenang dan
waktu) yang
didukung dengan partisipasi yang tinggi dari warga sekolah, orang tua, dan masyarakat, serta sesuai dengan
kerangka kebijakan pendidikan nasional
dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan (Direktorat TK & SD, 2005: 6).
Dalam bentuk manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah (MPMBS), MBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih
besar
kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga
sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2002:5).
Perihal MBS ini,
UU
No.
20
Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat (1) menyatakan, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.” Selanjutnya, penjelasan pasal 51, ayat (1)
menerangkan bahwa, “Yang dimaksud
dengan manajemen berbasis
sekolah/madrasah adalah
bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/
madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”.
Otonomi memang bermakna
pemilikan kewenangan mengatur semua masalah secara mandiri.
Namun, dalam konteks
MBS di Indonesia, pelaksanaannya
masih terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional, maupun daerah. Artinya otonomi yang dimaksudkan di dalam penjelasan pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas
No. 23 Tahun 2003 merupakan bentuk desentralisasi
yang bersifat relatif dan mengacu kepada
perundang-undangan dan peraturan yang berlaku baik di tingkat
nasional maupun di daerah.
Sungguh pun demikian, dengan
MBS, tanggung jawab sekolah menjadi lebih
besar.
Sekolah dituntut untuk menunjukkan
hasil
kerjanya
sehubungan
dengan
kewenangan lebih besar yang diperolehnya sebagai
bentuk
akuntabilitas,
baik kepada warga sekolah maupun
pemerintah.
Selanjutnya, peran komite sekolah – yang dalam hal ini merupakan refleksi
dari pemangku kepentingan pendidikan kepentingan (orang tua,
masyarakat,
pengguna lulusan, guru-kepala sekolah, dan penyelenggara pendidikan) -- terlibat baik secara langsung maupun
tidak langsung di dalam pengelolaan pendidikan di
sekolah. Artinya, dengan
MBS tujuan pendidikan
yang diharapkan oleh pemangku
dapat dipenuhi.
Sejarah MBS
Penerapan MBS di suatu negara pasti tidak terlepas
dari perkembangan pendidikan dan upaya-upaya perbaikan mutu pendidikan di negara tersebut. Sejak tahun 60-an dan 70-an banyak sekali inovasi
yang
telah
dilakukan.
Misalnya,
pengenalan kurikulum baru untuk
memperbaiki mutu pendidikan dan pendekatan- pendekatan baru (metode baru) dalam
proses pembelajaran, tetapi hasilnya kurang memuaskan.
Baru ketika tahun 80-an, saat terjadi
perkembangan manajemen dalam dunia industri dan organisasi komersial mencapai
sukses,
orang
mulai
percaya
bahwa untuk memperbaiki
mutu pendidikan, perlu ada
lompatan dari tataran pengajaran di dalam kelas
ke tataran organisasi. Perubahan itu dilakukan di dalam struktur
dan gaya manajemen sekolah (Cheng, 1996).
Selanjutnya, bagaimana sejarah MBS di berbagai
negara,
marilah kita simak sajian berikut ini. Sajian ini bersumber dari paparan Abu-Duhou,
I (1999:37-55), dan sumber lain.
Model MBS yang diterapkan di Kanada lebih dikenal dengan
pendelegasian keuangan (financial delegation). Gerakan
ke arah MBS dimulai i Edmonton
Public School District, Alberta, dimana pendekatan yang digunakan dikenal sebagai
“School-site decision-making”,yang
telah menghasilkan desentralisasi alokasi
sumber daya, baik tenaga pendidik dan
kependidikan, perlengkapan, barang-barang
keperluan sekolah. maupun layanan pendidikan. Langkah awal dimulai pertengahan tahun 1970
dengan tujuh sekolah rintisan,
dan diadopsi dalam sistem yang lebih luas menjadi pendekatan manajemen-mandiri (self
management) secara komprehensif pada
tahun 1980-1981, yang pada
akhirnya
hingga saat ini telah dilembagakan.
Ciri model ini adalah tidak adanya dewan sekolah atau komite sekolah. Di
tahun 1986, sekolah rintisan
yang melibatkan 14 sekolah,
memperluas pendekatan
dengan melibatkan layanan konsultan
pusat. Ciri penting di sini adalah
model formula-alokasi-sumber daya. Sekolah menerima
alokasi secara “lumpsum” ditambah suplemen
yang menggambarkan biaya layanan
konsultan yang secara historis pernah dilakukan, sesuai dengan tipe sekolah dan tingkat kebutuhan siswa. Alokasi tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam anggaran yang berbasis sekolah (school based budget). Standar biaya untuk berbagai
tipe layanan (service) kemudian
ditentukan. Tagihan pembayaran kepada sekolah pun sesuai dengan layanan yang dimintanya. Sekolah dapat memilih jenis layanan selain yang disediakan oleh daerah. Program pengefektifan guru juga diadakan tahun 1981.
Pada tahun 1986-1987 program pengembangan profesional guru dengan
pendanaan
dari
“school based budget” dilakukan setengah hari per minggu. Kegiatan
ini menjangkau sebagian
besar sekolah dan mencapai sekitar
50 % guru-guru.
Dalam rangka menjamin akuntabilitas, proses monitoring dikembangkan.
Para siswa pada tahun ke-3,
6, 9, dan 12, secara
reguler diuji
untuk semua bidang bidang
pada kurikulum. Benchmark atau standar tingkat
kemampuan atau prestasi yang dicapai, kemudian ditentukan, dan digunakan sesudah tahun 1987 sebagai dasar perbandingan prestasi siswa pada tahun berikutnya. Setiap tahun,
survai pendapat dilakukan kepada siswa, guru, kepala sekolah, staf daerah, dan orang tua siswa yang memungkinkan dilakukannya pengklasifikasian
tingkat
kepuasan
mereka
dalam
kaitan dengan peran-peran mereka.
Pada tahun 1994, Provinsi
Alberta merencanakan untuk memulai
restrukturisasi sistem secara keseluruhan. Restrukturisasi itu berkaitan
dengan meng- undang-kan reformasi yang luas di bidang pendidikan yang menghasilkan kantor pusat pada Departemen Pendidikan yang lebih kecil, pengurangan jumlah “school
district” secara drastis dari 140 menjadi
60, serta penyerahan sebagian besar
kewenangan kepada
tingkat
sekolah. Ciri kunci reformasi ini terletak pada
peningkatan keterlibatan orang tua, masyarakat,
dan kalangan
bisnis, dengan kewenangan untuk
pengambilan keputusan dalam layanan
pendidikan,
termasuk penyediaan sumber daya, dan menentukan
hasil yang akan dicapai. Pengenalan “Charter Schools” dengan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan, juga dituangkan di dalam perundangan
yang baru.
Model MBS di Hongkong lebih dikenal
sebagai
School
Management
Initiative (SMI), yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam menajamen sekolah. Lahirnya kebijakan SMI ini ialah
untuk memecahkan beberapa
masalah-masalah pendidikan, seperti: tidak memadainya proses dan struktur manajemen, buruknya
pemahaman peran
dan
tanggung
jawab,
tidak
adanya
pengukuran
kemampuan,
menekankan pada kontrol yang mendetail
daripada kerangka
kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, serta
menekankan pada pengendalian
biaya
margin
daripada
efektivitas biaya dan nilai uang. Cheng (1996: 44) menyatakan
bahwa munculnya model SMI didasari oleh usaha
untuk memperbaiki mutu pendidikan dengan memperluas
kesempatan sekolah dan sistem pendidikan,
perbaikan
pada
input
sumber daya, serta perbaikan fasilitas belajar-mengajar seperti
program remedial,
bimbingan siswa, dan
beberapa
penataran dalam-jabatan (inservice training).
Kebijakan ini mengubah
model manajemen
yang
sentralistik,
serta
memberikan
otonomi lebih besar
kepada sekolah dalam
hal pengelolaan dan pendanaan pada tingkat sekolah yang bersangkutan.
Model SMI menetapkan peran-peran mereka yang bertanggung jawab atas
pengelolaan sekolah, terutama sponsor, “managers” dan kepala sekolah. Hal tersebut memberikan
peluang yang lebih besar bagi guru, orang tua, dan alumni (former
students) untuk
berpartisipasi
dalam
pengambilan keputusan (decision making),
manajemen; mendorong perencanaan dan evaluasi kegiatan sekolah yang
lebih
sistematik, serta memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah
dalam hal pemanfaatan
sumber daya yang dimiliki. Prinsip penyelenggaraan sekolah menekan- kan pada manajemen-bersama (joint
management), serta mendorong partisipasi guru, orang tua, dan siswa dalam penyelenggaraan sekolah.
Kerangka acuan SMI berisikan lima kelompok kebijakan, yaitu: (a) peran dan hubungan
baru untuk Departemen
Pendidikan; (b) peran baru bagi komite manajemen
sekolah, para sponsor,
pengawas sekolah dan kepala sekolah; (c) fleksibilitas yang lebih besar dalam keuangan sekolah; (d) partisipasi dalam pengambilan keputusan; serta (5) sebagai kerangka acuan dalam hal akuntabilitas.
Kerangka acuan
akuntabilitas
tersebut
mencatat dua hal penting, yaitu tingkatan individual
dan
tingkatan
sekolah
secara menyeluruh. Pertama,
system
pelaporan atau penilaian direkomendasikan dan diminta untuk dikonsultasikan
kepada dewan manajemen sekolah, serta memperhatikan penilaian yang dimiliki oleh
Departemen Pendidikan, sebagai langkah
awal. Kedua, akuntabilitas sekolah sebagai
suatu keseluruhan. Setiap sekolah perlu
membuat
rencana tahunan sekolah, menetapkan
tujuan dan kegiatan
yang ingin dicapai
pada tahun yang akan datang,
serta mempertanggungjawabkannya.
Perencanaan sekolah yang dibuat, memungkinkan sekolah
untuk menentukan prioritas, membuat alokasi
anggaran, dan mengkomunikasikan arah dan tujuan kepada masyarakat.
Sekolah juga diminta untuk
membuat profil
sekolah tahunan yang memuat kegiatan pada tahun sebelumnya–yang digunakan untuk memetakan pencapaian pada sejumlah indikator seperti prestasi belajar
siswa pada mata
pelajaran
utama, kegiatan non-akademis, profil
tenaga kependidikan dengan memberikan
gambaran tentang pergantian staf, kualifikasi, dan kompetensinya.
Reformasi sistem pendidikan di Inggris
telah
dilakukan
secara
terus-
menerus dan meningkat
sejak Education Act tahun 1944. Undang-undang pendidikan tahun 1980 merevisi
kekuasaan dan tanggung
jawab
dewan
sekolah,
dewan
gubernur, dan dewan manajer.
Undang-undang menciptakan pemusatan kontrol secara nasional dalam
hal
kurikulum,
tingkat-tingkat yang
harus
dicapai,
proses
penilaian, serta pengawasan dan pelaporan hasil belajar. Dalam
kerangka nasional seperti ini, penyampaian kurikulum, pengelolaan
personil, keuangan, sumber daya sarana, serta akuntabilitas
kepada
orang
tua
dan
masyarakat, diteruskan kepada
badan-badan penyelenggara sekolah. Ciri baru dari perubahan ini adalah upaya untuk mendorong kompetisi antarsekolah dalam
memenuhi
tuntutan pasar
(market
demands). Di sini juga termasuk persaingan penempatan siswa.
Pemerintahan
konservatif Margareth Thatcher, membawa prinsip tersebut ke dalam pendidikan. Hal ini memungkinkan
sekolah-sekolah
lokal
untuk
dapat
mengelola sekolahnya secara
mandiri. Perubahan tersebut
dan perubahan lainnya seperti pelatihan manajemen
untuk kepala sekolah, mencapai titik kulminasi di dalam
Undang-undang Reformasi Pendidikan - Education Reform Act tahun 1988.
Ada enam perubahan
struktur utama di dalam Undang-undang Tahun 1988 yang memudahkan MBS, yaitu:
(1) Kurikulum nasional untuk mata pelajaran inti
ditentukan pemerintah; (2) Ujian nasional diwajibkan
untuk siswa usia 7, 11, 14, dan 16;
(3) “Grant-maintained school”
atau
MBS diciptakan untuk mengembangkan otoritas pendidikan lokal agar dapat memperolah dana bantuan dari pemerintah;
(4) City Technical Collage
dibentuk
(semacam
sekolah
menengah kujuruan); (5) penggabungan “Inner London Education Authority” menjadi 13 “Local Education Authorities”; serta (6) pembentukan model
“Manajemen
Sekolah
Lokal”
yang
mencakup: penerimaan siswa secara terbuka di dalam wilayah kantor/otoritas
pendidikan lokal; formula alokasi sumber daya sekolah diberikan; penetapan prioritas pada
masing-masing
sekolah
dalam
penggunaan
alokasi
sumber daya; memberdayakan dewan sekolah
(board
of
governors)
pada
setiap
sekolah
untuk
mengangkat dan memberhentikan staf dan guru-guru; serta
penyediaan informasi mengenai
kinerja sekolah kepada orang tua.
Model MBS atau “Local School Management” (LSM) pada dasarnya adalah kebijakan MBS yang memindahkan manajemen pendanaan dan sumber daya
dari kewenangan lokal ke dewan penyelenggara atau pengelola serta staf sekolah. Dengan MBS, sekolah didanai
berdasarkan jumlah siswa yang terdaftar. Penurunan angka kelahiran menyebabkan kelebihan tempat pada
sekolah. Pendaftaran murid
yang terbuka dan pendanaan yang ditetapkan berdasarka njumlah
siswa, menimbulkan persaingan
antarsekolah untuk mendapatkan
murid. Keadaan ini diharapkan pemerintah pada akhirnya akan membuat mereka bersaing
pula dalam hal peningkatan mutu sekolah.
Berdasarkan enam kebijakan
Undang-Undang Pendidikan tersebut, tatanan
sistem persekolahan di Inggris berubah secara
dramatis. Pertanyaannya, apakah
tujuan yang mendasari reformasi
yaitu perbaikan mutu (improved student achievement) dan produktivitas ekonomi dapat direalisasikan? Devolusi kewenangan dan tanggung
jawab sekolah adalah salah satu strategi utama di dalam implementasi
kebijakan pendidikan. Artinya otonomi dan
fleksibilitas
yang
lebih
besar
dalam
pengambilan keputusan, harus diikuti peningkatan akuntabilitas
kepada orang tua, pengguna lulusan, dan
masyarakat luas. Mekanisme untuk mempertahankan akuntabilitas sekolah
meliputi: pengawasan, publikasi
catatan siswa dan prestasinya,
kartu laporan
siswa,
dan
laporan
tahunan
siswa. Sekolah yang gagal mencapai
standar yang dapat diterima oleh Lembaga Standar Pendidikan dianggap sebagai
sekolah bermasalah. Sekolah seperti
ini akan dibina
oleh kelompok ahli (tim kecil)
yang bertugas memperbaiki
standar pendidikan. Apabila
upaya tersebut tetap
tidak membuahkan hasil yang memuaskan, maka sekolah itu akan ditutup.
Sampai awal tahun 70-an, hampir semua negara bagian di Australia
menerapkan model birokrasi yang sentralistik. Perubahan ke arah MBS memakan rentang waktu tiga puluh
tahunan.
“The
Karmel
Report”
tahun
1973
dianggap
sebagai suatu dokumen yang paling berpengaruh dalam pendidikan jalur sekolah
di
Australia, karena pernyataannya yang menekankan bahwa berkurangnya
kontrol
sentralisasi terhadap operasi
sekolah-sekolah diperlukan untuk menjamin efektivitas dan pemerataan atau keadilan
dalam pendidikan sekolah.
Untuk mencapai hal tersebut direkomendasikan agar sumberdaya (resources) yang ada diarahkan pada target keperluan pendidikan tertentu, dengan melibatkan
orang tua dan guru-guru di dalam memutuskan penggunaan
sumber daya tersebut.
Mereka yang paling
dekat dengan sekolah diharapkan
akan dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan
lebih efisien dan efektif daripada otoritas
di pusat yang jauh dari sekolah. Sementara
itu, adanya perubahan dalam
bentuk skema pendanaan
untuk staf sekolah,
sering disertai bantuan
wakil-wakil masyarakat untuk mengidentifikasi prioritas-prioritas pada tingkat sekolah dan
menyusun program sekolah yang lebih cocok memenuhi kebutuhan suatu sekolah. Perubahan tersebut menjadikan Australia
disebut sebagai “a world-leader in School-Based
Management” atau Pemimpin
Dunia
dalam
Hal
Manajemen Berbasis Sekolah (Gamage 1996:27,
dalam Abu-Duhou, 1999).
Abu-Duhou (1999) memberikan gambaran
perkembangan manajemen pendidikan di Australia yang meliputi
hal-hal sebagai berikut:
- Suatu desentralisasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan kurikulum dan penggunaan sumber daya, baik kepada sekolah maupun masyarakat.
- Pengembangan oleh otoritas pusat dan pengelolaan kebijakan umum, prioritas, dan kerangka akuntabilitas, semuanya dimaksudkan sebagai pedoman umum untuk menerjadikan pengambilan keputusan berbasis sekolah (school based decision making).
- Ada penerimaan bahwa pengembangan ini akan terjadi secara gradual dalam kurun waktu beberapa tahun.
- Pemberian dorongan kepada sekolah-sekolah untuk melakukan pendekatan manajemen yang lebih sistematik dan lebih berorientasi pada sudut pandang perbaikan mutu, dengan kesempatan yang cukup bagi pengambilan keputusan partisipatif bagi perencanaan jangka panjang maupun jangka pendek.
- Memasukkan program evaluasi dan penilaian sekolah secara menyeluruh di dalam manajemen sekolah pada umumnya, termasuk pengembangan indikator mutu.
- Akuntabilitas sekolah kepada masyarakat dan kepada otoritas pusat (negara bagian) dalam hal pencapaian pendidikan, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah disepakati dan prioritas pembelajaran.
7.
Pengembangan hibah secara global kepada
sekolah-sekolah.
Meskipun karakteristik unsur-unsur di atas hampir ada pada setiap negara bagian, tetapi tingkat intensitas dan keluasannya berbeda-beda. Yang jelas ada satu
hal yang sangat dianjurkan kepada semua sekolah di setiap negara bagian,
yaitu perencanaan di semua sekolah yang lebih
sistematik, baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek, meskipun nama yang digunakan berbeda-beda. Di Tasmania disebut perencanaan strategik sekolah (strategic school plan), di South Australia disebut perencanaan pengembangan sekolah (school development plan) dan
perencanaan kegiatan sekolah (school action plans).
Keinginan politik untuk mendesentralisasikan tanggung jawab pada tingkat
sekolah dalam arti pengambilan keputusan operasional, penganggaran,dan keterlibatan masyarakat, terkuat di Northern Territory dan Victoria, dan diikuti
oleh negara-negara bagian lainnya. Di Victoria,
pada tahun 1999 pelaksanaan “School of the Future”
memasuki tahun ke-6
dari siklus 7 tahun.
Program ini memfokuskan pada konsep bahwa kualitas hasil/dampak (outcome) pembelajaran (schooling) hanya bisa dijamin apabila
pengambilan keputusan
terjadi pada tingkat
lokal. Tahun 1993, The Directorate of School Education (DSE),
otoritas yang berkuasa
di pusat, diminta untuk
memfokuskan
identifikasi tujuan-tujuan umum/luas (broad
goals) dan membangun kerangka kerja akuntabilitas yang dapat mengembangkan proses perubahan operasionalisasi pendidikan sekolah di Victoria. Setelah terbitnya
“School of the Future Preliminary Paper”
tahun 1993, program rintisan dimulai pada tahun
1994.
Bagaimana dengan model
MBS di Indonesia? Pada dasarnya, esensi MBS bukanlah
sesuatu yang baru sama sekali di Indonesia. Meskipun belum menggunakan istilah MBS, sekolah atau madrasah yang sistem pengelolaannya dilakukan oleh
swasta, baik yayasan, pesantren, badan
hukum dan sebagainya, telah
menerapkan prinsip-prinsip MBS tersebut. Formalisasi MBS
dimaksudkan untuk lebih
menekankan pada persoalan yang lebih mendasar dan mendalam tentang bagaimana
implementasi MBS yang lebih tepat di sekolah.
Dasar hukum penerapan model MBS di Indonesia adalah Undang-Undang
Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Penerapan pendekatan dan pengelolaan sekolah
dengan prinsip MBS secara resmi mulai berlaku tanggal
8 Juli 2003. Sebelumnya, pemerintah telah melakukan
berbagai program rintisan
di berbagai jenjang
pendidikan
berkenaan
dengan
model MBS melalui
berbagai
kebijakan yang bertujuan untuk membuat sekolah menjadi lebih mandiri
dan
meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh,
rintisan program MBS di SD dan MI telah dilakukan untuk meningkatkan
mutu pembelajaran.
Program
ini
menekankan pada tiga komponen, yaitu Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS), Peran Serta Masyarakat (PSM),
dan PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Ketiga komponen itu tertuang dalam
Propenas 2000-2004 sebagai program untuk mengembangkan
pola
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan
manajemen berbasis
sekolah untuk meningkatkan efisiensi
pemanfaatan sumber daya pendidikan dengan memperhatikankondisi
dan kebutuhan masyarakat setempat.
Pada tahun
1999
dengan
bekerjasama serta bantuan dari UNESCO
dan
UNICEF, program MBS telah dirintis di 124 SD/MI, yang tersebar
di 7 kabupaten pada propinsi Jawa Tengah (Kabupaten
Magelang, Banyumas, dan Wonosobo),
Jawa Timur (Kabupaten Probolinggo), Sulawesi Selatan
(Kabupaten Bontang), dan Nusa
Tenggara Timur (Kota Kupang)..
Selanjutnya, pada tahun 2002, pemerintah New Zealand membantu pendanaan untuk memantapkan
dan menyebarkan program tersebut di tujuh kabupaten/kota rintisan serta untuk
mendiseminasikan program ke tujuh kabupaten lainnya di Indonesia Timur, termasuk
Papua dan Nusa Tenggara
Barat (NTB). Jumlah SD/MI berkembang menjadi 741 SD/MI. Diseminasi program oleh Unicef di sejumlah kabupaten di pulau Jawa juga
dilakukan dengan
menggunakan bantuan dana dari Bank Niaga, BFI, Chef for Kids, dan City Bank. Beberapa
bantuan juga diberikan oleh lembaga bantuan Australia (AusAID), sehingga pada tahun 2004 program tersebut telah berkembang ke 40 kabupaten
di 9 propinsi dengan 1479
SD/MI.
Replikasi program juga telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat (Depdiknas) di 30 propinsi di Indonesia
di bawah lambang “MBS”. Juga, USAID –
lembaga bantuan dari
pemerintah Amerika
Serikat
juga
telah
mengembangkan program MBS sejenis
di
Jawa
Timur
dan
Jawa
Tengah
yaitu
Managing
Basic
Education (MBE), serta pada tahun 2004
model MBS juga dilaksanakan di tiga
kabupaten Jawa Timur dengan dukungan
Indonesia – Australia
Partnership in Basic Education (IAPBE). Mulai tahun
2005, USAID juga memberikan bantuan untuk model MBS ini di 7 propinsi
di Indonesia melalui program
Decentralized Basic Education (DBE).
Usaha-usaha implementasi
MBS di
Indonesia terus dilakukan dalam
kerangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan MBS yang telah dilaksanakan di SD/MI
maka sekolah akan
lebih mandiri di dalam mengelola dan memanfaatkan
sumber daya yang dimiliki.
Menurut Nurcholis (2003:108),
sekolah yang menerapkan MBS mempunyai sejumlah ciri, yaitu memiliki tingkat kemandirian
yang tinggi, bersifat adaptif, antisipatif, dan proaktif, memiliki jiwa kewirausahaan yang
tinggi, bertanggung jawab terhadap kinerja sekolah,
memiliki kontrol yang kuat
terhadap input manajemen dan sumber dan kondisi kerja, mempunyai
komitmen yang tinggi pada dirinya,
menjadikan prestasi sebagai acuan
dalam
penilaian, memiliki kemampuan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif, serta meningkatnya
kualitas proses pembelajaran.
Latihan
Demikianlah
sajian tentang pengertian dan sejarah MBS. Untuk memantapkan pemahaman Anda atas materi tersebut,
jawablah pertanyaan berikut dengan rumusan bahasa Anda
sendiri.
- Apakah yang dimaksud dengan Manajemem Berbasis Sekolah (MBS)?
- Komponen-komponen apa saja yang terdapat dalam Manajemen Berbasis Sekolah?
- Apa yang dimaksud dengan model MBS dengan pendekatan ”funding formula’?
- Uraikan secara singkat model pendekatan MBS yang diterapkan di Inggris!
- Sebutkan karakterisik utama dari model MBS di Australia!
Bagaimana Saudara,
apakah Anda menemui kesulitan menjawab latihan ini? Baik!
Jika Anda sudah selesai mengerjakan
latihan tersebut, bandingkanlah hasilnya dengan kunci jawaban latihan
di bawah ini.
1.
MBS dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan
sumber daya yang berdasar
pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran
untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
2.
Komponen-komponen yang terdapat dalam Manajemen Berbasis Sekolah adalah
pengambilan keputusan, peranserta di dalam pengambilan keputusan
(partisipatif), akuntabilitas, alokasi sumber
daya.
3.
Model MBS dengan
pendekatan “funding formula” adalah
pendekatan yang lebih mengkonsentrasikan pada pendelegasian keuangan untuk memenuhi sumber daya
kepada sekolah. Pendekatan ini pertama
kali dilakukan di Kanada.
4.
Model pendekatan
MBS yang dilakukan di
Inggris adalah suatu
model pendekatan yang
memberikan kepada
sekolah fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya dan pada saat yang sama juga memberikan
kesempatan partisipasi
yang lebih besar kepada guru,
orang tua, dan alumni di dalam pengembangan
keputusan.
5.
Karakteristik Model MBS
yang terjadi di Australia adalah sebagai berikut:
a.
Suatu desentralisasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan kurikulum dan
penggunaan
sumber
daya
baik
kepada
sekolah
maupun masyarakat.
b.
Pengembangan
oleh
otoritas pusat
dan
pengelolaan kebijakan umum,
prioritas, dan kerangka akuntabilitas, semuanya dimaksudkan sebagai pedoman umum yang di dalamnya dikandung maksud agar “school based decision making” dapat terjadi.
c.
Ada penerimaan bahwa pengembangan ini akan terjadi secara gradual dalam kurun waktu beberapa tahun.
d.
Pemberian dorongan
kepada sekolah-sekolah untuk melakukan
pendekatan manajemen yang lebih sistematik dan lebih berorientasi pada sudut pandang perbaikan mutu, dengan kesempatan yang cukup bagi pengambilan keputusan partisipatif bagi perencanaan
jangka panjang maupun jangka pendek.
e.
Memasukkan program
evaluasi dan penilaian sekolah menyeluruh
di dalam manajemen sekolah pada umumnya, termasuk pengembangan indikator mutu.
f.
Akuntabilitas sekolah
kepada masyarakat
dan kepada otoritas pusat
(negara bagian) dalam hal pencapaian pendidikan sesuai
dengan tujuan-tujuan yang telah disepakati dan prioritas pembelajaran.
g.
Pengembangan hibah secara global kepada
sekolah-sekolah.
Rangkuman
Konsep
MBS pada dasarnya
mengacu pada manajamen sumber
daya di tingkat sekolah yang melibatkan
partisipasi masyarakat, warga
sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Sumber
daya tersebut mencakup: kekuasaan,
pengetahuan, teknologi, keuangan, manusia, material,
dan waktu. Melalui MBS, sekolah memiliki kontrol yang lebih dalam
mengarahkan organisasi sekolah ke depan, sesuai dengan tujuan dan strategi yang telah ditetapkan sekolah. Di samping itu, sekolah
juga memiliki kontrol terhadap keuangan
sekolah yang dapat dialokasikan untuk pengembangan sumber daya manusia, dan peningkatan proses pembelajaran.
Juga sekolah mempunyai tanggung jawab terhadap
pengembangan kurikulum, dan bagaimana menggunakan
material dalam proses pembelajaran.
Dari gambaran tentang perkembangan kebijakan
dan implementasi MBS di beberapa
negara,
ditemui adanya variasi atau
perbedaan
model maupun pendekatan.
Ada model
yang lebih
mengkonsentrasikan pada pendelegasian keuangan untuk memenuhi sumber daya kepada sekolah
(Kanada)dengan “funding formula”, ada yang memberikan kepada sekolah
fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya dan pada saat yang
sama juga memberikan
kesempatan partisipasi yang lebih besar kepada guru, orang tua,
dan bekas siswa (alumni) di dalam pengembangan keputusan (Hongkong); ada yang paket perubahannya lebih
luas dengan penyempurnaan kurikulumnasional, sistem pengujian prestasi siswa berdasarkan kurikulum nasional, pilihan sekolah
secara bebas oleh siswa, dan manajemen lokal dengan mendesentralisasikan anggaran pada tiap sekolah, dan memberi kewenangan
kepada sekolah untuk mengangkat
dan
menyeleksi staf (guru
dan
tenaga
lainnya) seperti di Inggris, yang juga memberikan otonomi dan fleksibilitas
lebih besar kepada masyarakat di dalam pengambilan keputusan, sehingga akuntabilitas kepada
orang tua, pengguna tenaga kerja, dan
masyarakat umumnya lebih besar pula. Sekalipun ada variasi
perbedasan, pada umumnya
MBS diarahkan untuk mengangkat
masalah sistem manajemen sekolah yang menempatkan pusat
pada posisi yang makin kuat untuk bertanggung jawab menentukan
tujuan-tujuan pendidikan (standar) dan memonitor
kinerja/prestasi, sementara
pada
saat
yang
sama memberikan kewenangan dalam pelaksanaan serta pengelolaan sumber daya pada level sekolah untuk mengambil keputusan.
Namun demikian,
ada
catatan
umum
yang
perlu
dikemukakan.
Pertama, gerakan MBS, sungguhpun dengan
nama yang berbeda-beda, tidak terlepas dari upaya dan bertujuan untuk meningkatkan efektivitas (mutu) dan efisiensi penggunaan sumber daya
pendidikan. Kedua, gerakan
MBS juga bertujuan meningkatkan komitmen (kepedulian penuh) berbagai pemangku kepentingan pendidikan, terutama yang berhubungan langsung
dengan penyelenggaraan sekolah, untuk mendukung dan merealisasikan
efektivitas
dan efisiensi pendidikan. Ketiga, perubahan dilakukan
secara bertahap dari lingkup yang kecil ke cakupan yang lebih luas. Keempat, dalam pembaruan ke arah MBS selalu ada empat isu penting,
yaitu masalah
pengambilan
keputusan, peran serta dalam pengambilan keputusan (partisipatif), alokasi
sumber daya (resources), dan masalah akuntabilitas. Kelima, MBS terkait erat
dengan pendekatan pengelolaan organisasi.
Tes Formatif 1
Kerjakanlah tes formatif berikut
dengan cara memberi tanda silang (X) pada salah satu pilihan jawaban yang menurut
Anda paling benar.
1. Berikut ini
fungsi-fungsi manajemen
pendidikan dalam kerangka Manajemen Berbasis Sekolah, kecuali:
A. Perencanaan C. Pengorganisasian
B. Pengawasan D.
Pengembangan
2. Penyelenggaraan pendidikan melalui pendekatan Manajemen Berbasis
Sekolah dimaksudkan untuk
mengatasi
kelemahan sistem penyelenggaraan berikut
ini
kecuali:
A. penyelenggaraan pendidikan berorientasi pada input dan output
B. penyelenggaraan pendidikan di sekolah merupakan
tanggung jawa sekolah tanpa harus melibatkan masyarakat.
C. Penyelenggaraan pendidikan yang desentralistik.
D. Penyelenggaraan
pendidikan yang sentralistik.
3.
Pengertian
MBS mengacu kepada hal-hal berikut, kecuali:
A. pemberian otonomi yang lebih luas
B.
memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
sekolah untuk mengambil keputusan
C.
memberikan kewenangan kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan tanpa harus melibatkan masyarakat
dan stakeholder pendidikan.
D.
pelibatan
warga sekolah, orang tua
dan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
4.
Berikut
isu-isu penting berkenaan dengan MBS, kecuali:
A. pengambilan keputusan
B. peranserta di dalam pengambilan keputusan
(partisipatif) C. akuntabilitas
D. rencana pengembangan sekolah
5.
Berikut
ini dasar hukum pelaksanaan MBS di
Indonesia, kecuali:
A. UU
No. 25 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
B. UU No. 20 Tahun 2003 tentan Sisdiknas
C. Propenas Tahun 2000-2004
D. PP
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan
6.
Model MBS yang lebih mengkonsentrasikan pada pendelegasian keuangan untuk memenuhi sumber
daya
kepada
sekolah
dengan
“funding formula” merupakan model MBS yang diterapkan di
negara ...
|
A. Hongkong
|
C. Australia
|
7.
|
B. Kanada
Model MBS
|
D. Inggris
yang memberikan fleksibilitas kepada sekolah dalam
|
penggunaan sumber
daya
serta
partisipasi yang lebih besar kepada guru, orang tua, dan alumni
di
dalam
pengembangan keputusan, dilakukan di
negara ...
A. Hongkong C.
Australia
B. Kanada D.
Inggris
8. Model MBS
yang
menekankan pada insiatif
sekolah
dalam
manajemen
pendidikan yang dikenal
dengan School Management Initiative dilakukan di
negara ...
A. Hongkong C.
Australia
B. Kanada D.
Inggris
9.
Model
MBS dengan pendekatan School Management Initiative adalah ...
A.
model yang menekankan pada proses pengambilan keputusan yang partisipatif
B.
model pendelegasian keuangan untuk memenuhi sumber
daya kepada
sekolah
C.
model yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam
manajemen pendidikan
D.
model yang menekankan pada perbaikan kurikulum dan peningkatan prestasi sekolah.
10. Berikut hal-hal yang berkaitan
dengan upaya dan tujuan diterapkannya MBS di berbagai
negara, kecuali:
A.
meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penggunaan sumber daya
pendidikan
B.
meningkatkan
komitmen
(kepedulian
penuh)
berbagai
“stakeholder” pendidikan
C.
melakukan perubahan
secara bertahap dari lingkup yang kecil ke sasaran
yang lebih luas
D.
peningkatan kewenangan
kepada kepala sekolah dalam pengambilan keputusan tanpa melibatkan warga sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Umpan Balik dan Tindak
Lanjut
Setelah
mengerjakan Tes Formatif 1, bandingkanlah jawaban Anda dengan kunci jawaban
yang terdapat pada akhir unit ini. Untuk mengetahui
tingkat
penguasaan Anda terhadap materi ini, hitunglah dengan menggunakan rumus:
Jumlah
jawaban yang benar
Tingkat penguasaan = x 100
10
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Jika tingkat
penguasaan Anda minimal 80%, maka Anda dinyatakan berhasil dengan baik, dan dapat melanjutkan untuk mempelajari Unit 2. Sebaliknya, bila tingkat penguasaan Anda kurang dari 80%, silakan pelajari kembali uraian yang
terdapat dalam subunit,
khususnya pada bagian yang belum Anda kuasai dengan baik.
Pokok Bahasan 2
Motif, Tujuan dan Manfaat
Manajemen Berbasis
Sekolah
ada
subunit 2 ini Anda akan diajak untuk lebih mendalami Manajemen Berbasis Sekolah ditinjau dari motif, tujuan dan manfaat diterapkannya MBS di sekolah. Sudah barang tentu, kajian di bagian ini tidak terlepas dari kajian Anda tentang pengertian MBS dan
sejarah
MBS pada subunit 1. Sajian pada
subunit
2
ini
menyangkut motif penerapan MBS, serta tujuan dan manfaat MBS.
Penyajian dari materi
ini
didasarkan
berbagai
pendapat
para
ahli
dan
pengalaman yang terjadi
di
berbagai
negara
dalam
menerapkan MBS. Dengan demikian diharapkan Anda dapat membandingkan kondisi di sekolah
Anda dengan materi yang disajikan di dalam subunit ini.
Motif Penerapan MBS
Seperti yang Anda ketahui pada Subunit 1 tentang sejarah MBS, maka motif diterapkannya MBS tentunya tidak terlepas dari sejarah munculnya
MBS di suatu negara. Menurut Bank Dunia dalam Q/A for the web/knowledge nugget yang ditulis oleh Edge (2000), terdapat
delapan motif diterapkannya MBS yaitu motif
ekonomi, profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
King dan Kozler (1988) menjelaskan mengapa manajemen lokal secara ekonomi lebih efektif.
Mereka
mencatat
bahwa
orang-orang
yang
mempunyai
keuntungan dan kerugian serta mempunyai informasi terbaik tentang apa yang
sesungguhnya terjadi di sekolah adalah orang yang mampu membuat keputusan yang tepat tentang bagaimana sekolah seharusnya menggunakan
sumber
daya
dan
bagaimana siswa seharusnya belajar.
Secara politis, MBS sebagaimana bentuk reformasi desentralisasi
lainnya
digunakan untuk mendorong adanya partisipasi demokratis dan kestabilan politik,
di mana pemerintah pusat memberikan
kesempatan
mendesentralisasikan beberapa
aspek pengambilan keputusan di bidang pendikan
untuk
mendorong keleluasaan yang lebih besar kepada daerah. Pendapat
yang sama dikemukakan oleh Gamage, D (2003:2)
yang menyatakan
bahwa
reformasi
pendidikan,
termasuk MBS
pada dasarnya karena faktor politik, di mana terjadi proses restrukturisasi birokrasi
dalam sistem pendidikan di sekolah. Kepala sekolah berbagi kekuasaan
dan kewenangan dengan pemangku
kepentingan (stakeholders)
pendidikandalam pengambilan
keputusan.
Motif professional menggambarkan
bahwa para professional sekolah mempunyai
pengalaman dan keahlian untuk
membuat keputusan pendidikan yang paling tepat
untuk sekolah dan siswanya. Para profesional juga dapat memberikan sumbangan pengetahuan pendidikan yang dimiliki berkenaan dengan kurikulum, pedagogik, pembelajaran
dan proses manajemen sekolah. Di samping itu, para profesional juga terlibat dalam manajemen
sekolah
dan juga mampu memberi motivasi dan komitmen yang lebih pada pembelajaran
di sekolah.
Motif efisiensi administrasi
menunjukkan bahwa penerapan MBS sebagai alat efisiensi administrasi di sekolah, menempatkan sekolah
pada posisi terbaik
untuk mengalokasikan sumber daya secara efeketif dalam menemukan kebutuhan para siswa.
Banyak system yang didesentralisasi
mencoba untuk meningkatkan akuntabilitas. Oleh karena itu, berkurangnya
tingkat birokrasi pusat mendorong
terjadinya efisiensi administrasi yang lebih besar. Efisiensi
di tingkat sekolah
terjadi ketika partisipan lokal membuat
keputusan sendiri.
Manajemen Berbasis Sekolah dapat
juga
digunakan
sebagai
alat
untuk
meningkatkan sumber pendanaan sekolah
secara lokal. Asumsinya adalah
bahwa dengan memberi harapan kepada
orang tua dan menerima keterlibatan orang tua dalam pengambilan keputusan
di tingkat sekolah,
orang tua akan menjadi termotivasi
untuk meningkatkan komitmen mereka kepada sekolah.
Pada gilirannya, orang tua akan menjadi lebih
berkeinginan untuk menyumbangkan uang,
tenaga, dan sumber
daya lain yang diperlukan kepada sekolah.
Meningkatkan prestasi siswa merupakan motif utama untuk memperkenalkan
MBS. Hal itu didasari oleh pemikiran bahwa jika orang tua dan para guru diberi
otoritas untuk membuat keputusan atas nama sekolah mereka, iklim di sekolah
akan berubah untuk mendukung pencapaian prestasi siswa. Meskipun bukti empirik untuk
mendukung asumsi itu tidak kuat, tetapi
dalam konteks ini, jika MBS sebagai motif dalam implementasi
MBS,
maka yang diperlukan adalah bagaimana mengubah
proses pembelajaran.
Ini
dapat
dilakukan melalui otonomi dalam
mendesain
pembelajaran untuk meningkatkan prestasi siswa sesuai dengan sumbder daya yang
dimiliki.
Melibatkan para aktor di tingkat sekolah dalam pengambilan keputusan dan pelaporan dapat menciptakan
dorongan
dan
perhatian
yang
lebih
besar
untuk
peningkatan mutu
sekolah.
Ketika
terjadi
desentralisasi
pengambilan keputusan digunakan untuk tujuan meningkatkan akuntabilitas, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan suara dari mereka yang kurang terdengar
(atau setidaknya tidak cukup
mendengarkan) seperti dalam
konteks
struktur
tata
layanan
sekolah
tradisional.
Menciptakan lebih efisien dan hemat biaya sekolah pada struktur
administratif
sekolah adalah tujuan utama kedua
setelah akuntabilitas.
Menurut laporan Bank
Dunia
(2004),
pentingnya
MBS
adalah
untuk
meningkatkan akuntabilitas kepala sekolah
dan guru terhadap
siswa, orang tua, serta mengizinkan
pengambil keputusan lokal untuk
menentukan gabungan input
dan
kebijakan pendidikan yang tepat, yang disesuaikan dengan kenyataan dan kebutuhan
lokal.
Sekolah efektif merupakan salah satu motif diterapkannya MBS. Winkler & Gershberg (1999) berhipotesis
bahwa
beberapa
komponen
kunci
sekolah
efektif
boleh jadi
dipengaruhi oleh
implementasi
MBS,
yang
pada
akhirnya dapat meningkatkan
komponen-komponen itu
untuk perbaikan pembelajaran. Mereka
menyelidiki bagaimana MBS mendorong
ke arah peningkatan karakteristik kunci tentang sekolah efektif
yang mencakup kepemimpinan yang kuat,
guru-guru yang terampil dan berkomitmen, berfokus pada peningkatan
mutu
pembelajaran, dan adanya rasa tanggung
jawab terhadap hasil.
Di
Indonesia, menurut
Departemen Pendidikan Nasional, terdapat
empat
motif penerapan MPMBS. Pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan,
kelemahan, peluang dan
ancaman bagi
dirinya
sehingga sekolah
dapat
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk
memajukan sekolahnya. Kedua,
sekolah
lebih
mengetahui kebutuhan lembaganya sehingga pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh sekolah
lebih cocok untuk memenuhi
kebutuhan sekolah, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan
dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa. Ketiga, keterlibatan
semua
warga
sekolah
dan
masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah dan kontrol
dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat, sehingga penggunaan
sumber
daya
pendidikan
lebih
efisien
dan
efektif.
Keempat, akuntabilitas sekolah tentang
mutu
pendidikan
masing-masing kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat, mendorong sekolah untuk berupaya
semaksimal mungkin melaksanakan dan mencapai
sasaran mutu pendidikan yang direncanakan, dengan melakukan
upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua,
masyarakat, dan pemerintah.
Kalau mencermati motif yang telah digambarkan di atas, pada hakikatnya inti penerapan MBS bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan. Nurkolis (2003:23) mengemukakan bahwa
motif diterapkannya MBS adalah untuk
meningkatkan mutu
pendidikan secara umum, baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kurikulum, sumber daya
manusia maupun tenaga
kependidikan lainnya, dan
pelayanan pendidikan.
Tujuan dan Manfaat MBS
Kalau Anda simak
pengertian,
sejarah, dan motif penerapan MBS pada
pembahasan sebelumnya, semuanya
menunjukkan bahwa tujuan MBS bermuara
pada peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan, relevansi pendidikan baik menyangkut mutu pembelajaran, sumber daya
manusia. Kurikulum yang dikembangkan,
serta tata pelayanan pendidikan.
Sebagaimana
yang
telah
diuraikan
sebelumnya bahwa MBS memberikan
kewenangan yang besar
kepada sekolah dalam pengambilan suatu
keputusan. Oleh karena itu,
sekolah
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pengelolaan pendidikan dan
pembelajaran di sekolah, merencananakan, mengorganisasikan, mengawasi, mempertanggungjawabkan, memimpin sumber daya sekolah, kurikulum dan tata pelayanan pendidikan, serta dapat mengembangkan MBS sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing.
Dalam konteks
pengambilan keputusan, tujuan MBS mempunyai
makna
bahwa pengambilan keputusan yang diambil di sekolah terhadap pendidikan
menjadi lebih berkualitas,
karena
kewenangan dalam pengambilan
keputusan
tersebut
dilakukan oleh orang-orang yang mengenal dan mengetahui
betul tentang sumber
daya yang
ada
di sekolah dan kebutuhan siswa ke depan.
Dengan
demikian keputusan yang diambil didasarkan pada
profil sekolah yang sesungguhnya, dan mengacu pada
harapan-harapan yang akan dicapai yang
bersumber dari warga sekolah, orang tua, dan masyarakat
dengan memperhatikan kelebihan
dan kelemahan yang dimiliki sekolah. Oleh karena itu,
MBS diharapkan akan dapat mendorong semua unsur tersebut untuk menjadi
lebih
berperan
aktif dalam pengambilan keputusan yang lebih baik, yang berorientasi pada keberhasilan siswa
dalam
pembelajaran.
Konteks perencanaan menjadi
bagian penting dalam kerangka MBS. Dengan
perencanaan, sekolah akan manjadi lebih siap dan terencana dalam
melaksanakan visi dan misi sekolah
serta manjalankan program dan kegiatan sesuai dengan
yang telah dilaksanakan. Pertanyaannya adalah, bagaimana perencanaan sekolah dapat dikembangkan dengan
baik?
Ingatlah, bahwa
tujuan MBS
adalah
memberikan
kewenangan kepada sekolah untuk menyusun perencanaan sesuai dengan kondisi riil
sekolah dan mengacu kepada kepentingan semua pemangku kepentingan pendidikan. Pembahasan
tentang perencanaan secara
lebih mendalam akan dikaji di Unit 3.
Dikaitkan dengan pengelolaan sumber daya sekolah,
MBS mempunyai makna bahwa pengelolaan sumber daya sekolah dilakukan
dan dilaksanakan oleh sekolah. Oleh karena itu sangat diharapkan
terjadinya efisiensi.
Efisiensi dimaksudkan
agar
semua sumber
daya
yang
dimiliki sekolah
dapat
mencakup keseluruhan aspek program dan kegiatan
yang dikembangkan
untuk meningkatkan efektivitas sekolah dan meningkatkan mutu pembelajaran yang akan berdampak pada prestasi
belajar
siswa.
Efisiensi pengelolaan
sumber
daya sekolah sangat erat
kaitannya dengan pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh (stakeholders).
Demikian halnya dengan konteks
pengelolaan kurikulum. Dengan mengacu
pada perangkat ketentuan nasional
tentang Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), warga sekolah baik dapat
mengembangkan
kurikulum
sesuai
dengan
kebutuhan dan tuntutan pemangku kepentingan sekolah. Faktor
penting lainnya, MBS diterapkan di sekolah tidak lain untuk meningkatkan tata layanan pendidikan bagi bagi warga
sekolah
itu
sendiri,
siswa, orang tua, dan masyarakat.
Tata
pelayanan pendidikan yang semakin baik, diharapkan akan meningkatkan mutu pendidikan secara
bertahap.
Keseluruhan konteks yang ada tersebut dilakukan
secara partisipatif, transparan,dan akuntabel.
Artinya, semua keputusan, perencanaan, pengorganisasian, dan fungsi-fungsi manajemen lainnya dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak
yang berkepentingan. Dilakukan secara transparan dan
akuntabel, baik dari sisi program, kegiatan, dan keuangan, kepada semua warga
sekolah, masyarakat, dan pemerintah.
Manurut Slamet
PH (2001), MBS bertujuan
untuk "memberdayakan"
sekolah, terutama sumber daya manusia (kepala
sekolah, guru, karyawan,
siswa, orang tua
siswa,
dan masyarakat
sekitarnya)
melalui pemberian
kewenangan,
fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan
persoalan yang dihadapi
oleh sekolah yang bersangkutan. Sekolah yang berdaya
pada umumnya adalah
sekolah yang mempunyai tingkat kemandirian tinggi
dan
tingkat
ketergantungan
rendah,
bersifat adaptif- antisipatif dan proaktif,
memiliki jiwa kewirausahaan
tinggi
(ulet,
inovatif, gigih, berani
mengambil resiko, dsb.), bertanggung jawab terhadap hasil sekolah, memiliki kontrol yang kuat terhadap
input manajemen dan sumber dayanya,
melakukan kontrol
terhadap kondisi
kerja, memiliki
komitmen yang tinggi
pada dirinya, serta menilai sendiri pencapaian prestasinya. Sumber daya manusia sekolah
yang berdaya,
pada
umumnya, memiliki ciri-ciri:
pekerjaan
adalah
miliknya,
bertanggung jawab, memiliki cara bagaimana sesuatu
dikerjakan, pekerjaan
yang dilakukan memiliki kontribusi, mengetahui
posisinya
berada
di
mana, memiliki
kontrol terhadap pekerjaan, serta pekerjaan
merupakan bagian hidupnya.
Hal-hal yang dapat memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, memecahkan
masalah pekerjaan secara tim, variasi
tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerja sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar,
ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui
dirinya bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan
warga sekolah diberlakukan sebagai manusia ciptaan Tuhan yang memiliki martabat tertinggi.
Manajemen berbasis sekolah
di
Indonesia yang
menggunakan model
MPMBS (Depdiknas, 2001:5) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian
kewenangan (otonomi) kepada sekolah
dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam kerangka meningkatkan kualitas pendidikan. Terdapat empat tujuan MBS tersebut, yaitu:
Pertama, meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian
dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kalau Anda perhatikan pilar kebijakan pendidikan nasional,
makna mutu dikaitkan
dengan relevansi pendidikan. Oleh karena itu, MBS bertujuan
mencapai mutu (quality) dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, dengan tolok ukur penilaian pada hasil
(output dan outcome) bukan pada metodologi atau prosesnya. Mutu dan relevansi
ada yang memandangnya sebagai
satu kesatuan substansi, artinya
hasil pendidikan yang bermutu sekaligus yang relevan dengan
berbagai kebutuhan dan konteksnya. Akan tetapi, secara terpisah juga dapat dilihat bahwa makna mutu lebih merujuk pada
dicapainya tujuan spesifik oleh
siswa (lulusan), seperti
nilai ujian
atau prestasi lainnya, sedangkan
relevansi lebih merujuk
pada manfaat dari apa yang diperoleh siswa melalui pendidikan dalam berbagai lingkup/tuntutan kehidupan.
Pengelolaan dan pemberdayaaan sumber daya yang tersedia dilakukan
secara efektif dan efisien.
Dengan kata lain, MBS juga bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Efektif artinya pengelolaan dan penggunaan semua input dalam bentuk
non-uang (jumlah dan jenis buku,
peralatan, pengorganisasian kelas, metodologi,
strategi pembelajaran, dan lain-lain) dikaitkan dengan
hasil yang dicapai
(output- outcome). Efektivitas berhubungan dengan proses, prosedur, dan ketepat-gunaan semua input yang
dipakai dalam proses pendidikan di sekolah, sehingga menghasilkan hasil belajar siswa seperti yang diharapkan (sesuai tujuan).
Efektif dan tidaknya suatu sekolah diketahui lebih
pasti setelah ada hasil atau
dinilai hasilnya. Sebaliknya untuk mencapai hasil yang baik diperlukan penerapan
indikator atau ciri sekolah efektif. Dengan menerapkan MBS, setiap sekolah
sesuai dengan kondisinya masing-masing, diharapkan dapat menerapkan metode yang tepat (yang
dikuasai), dan input lain yang tepat
pula
(sesuai
lingkungan
dan
konteks
sosial
budaya),
sehingga semua input tepat guna dan tepat sasaran, atau efektif untuk meningkatkan
mutu pendidikan.
Sementara
itu,
efisiensi berhubungan dengan nilai
uang
yang
dikeluarkan atau harga (cost) untuk memenuhi semua input (proses dan semua input
yang digunakan
dalam
proses)
dibandingkan atau dihubungkan dengan hasilnya
(hasil belajar siswa).
Dengan demikian,MBS
diharapkan dapat memenuhi efektivitas dan efisiensi sekolah, karena
perencanaan dibuat sesuai
dengan kebutuhan sekolah, sedangkan pelaksanaannya juga
diawasi oleh masyarakat.
Pengelolaan
dan
pemberdayaaan sumber
daya
yang
dimiliki sekolah
dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan kepada siswa. Dengan MBS setiap anak diharapkan akan memperoleh layanan pendidikan
yang bermutu di sekolah yang bersangkutan. Dengan asumsi bahwa
setiap anak berpotensi untuk belajar, maka MBS memberi keleluasaan kepada
setiap sekolah untuk menangani setiap anak dengan latar belakang
sosial ekonomi dan psikologis yang beragam
untuk memperoleh kesempatan dan layanan
pendidikan yang memungkinkan semua anak dan masing-masing anak
berkembang secara optimal.
Kedua, partisipatif,
yakni
meningkatkan kepedulian warga
sekolah
dan
masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan melaui pengambilan keputusan bersama; Ketiga, akuntabilitas, yaitu meningkatkan
pertanggungjawaban sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban atas semua yang dikerjakan
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab yang diperolehnya. Selama ini pertanggungjawaban
sekolah lebih pada masalah
administratif-keuangan
dan bersifat vertikal
(ke atas) sesuai jalur
birokrasi. Pertanggungjawaban yang bersifat teknis edukatif terbatas pada pelaksanaan program sesuai petunjuk dan pedoman dari pusat (pusat dalam arti
nasional, maupun pusat-pusat birokrasi di bawahnya), tanpa pertanggungjawaban hasil
pelaksanaan program. Dengan melaksanakan semua pedoman dan
petunjuk,
sekolah merasa telah melaksanakan tugas dengan baik. Soal hasil pendidikan (prestasi lulusan)
tidak termasuk sesuatu yang harus
dipertanggungjawabkan.
Tanggung jawab atas hasil pendidikan, dengan demikian, ada pada pundak
pengambil kebijakan (pusat
kekuasaan), yang akhirnya menjadi
sangat berat. Padahal, kenyataannya pusat otoritas tidak dapat mengendalikan
semua yang terjadi di sekolah
yang kondisi dan konteksnya sangat beragam. MBS dengan desentralisasi
kewenangan kepada sekolah bukan hanya memberikan kewenangan untuk mengambil keputusan yang lebih luas (daripada sebelumnya), tetapi
juga sekaligus membebankan
pertanggungjawaban oleh sekolah atas segala
yang dikerjakan dan hasil kerjanya.
Akuntabilitas pendidikan dan hasilnya (baik administratif-finansial maupun tingkat kualitas
yang dicapai) diberikan bukan
hanya kepada satu pihak
dalam hal ini pusat/birokrasi, tetapi kepada berbagai pihak
yang berkepentingan, termasuk di dalamnya
orang
tua,
komite sekolah (masyarakat), dan pengguna lulusan, selain
kepada guru-guru dan warga sekolah. Akuntabilitas kepada berbagai
pihak ini
pada
gilirannya
akan
meningkatkan kepedulian yang
kuat
(komitmen)
pihak-pihak terkait tersebut atas apa yang terjadi
di sekolah, terutama dalam
hal mutu, keadilan, efektivitas, efisiensi, transparansi, dan sebagainya yang merupakan unsur-unsur yang dituntut oleh
konsep akuntabilitas pendidikan.
Keempat, meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang pendidikan yang akan dicapai.
\Selanjutnya, menurut
Nurkholis
(2003:25),
penerapan
MBS
mempunyai
beberapa manfaat atau keuntungan.
Pertama, secara
formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan
orang-orang yang bekerja
di
sekolah.
Keahlian
dan
kemampuan personil
sekolah itu dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan dalam rangka
meningkatkan kualitas pembelajaran. Keahlian dan kemampuan
personil sekolah dihargai yang
selanjutnya
menimbulkan rasa
percaya diri. Kedua, meningkatkan moral
guru.
Moral
guru
meningkat karena adanya komitmen dan
tanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah.
Keadaan
ini
diharapkan dapat mendorong
guru untuk mendukung
dengan sepenuh tenaga dalam
mencapai tujuan dan tidak
berusaha untuk menghalang-halangi pencapaian tujuan
tersebut. Ketiga, keputusan
yang diambil
sekolah
memiliki
akuntabilitas. Hal ini
terjadi karena
konstituen sekolah
memiliki andil yang cukup
dalam setiap pengambilan keputusan. Akhirnya, mereka dapat menerima konsekuensi
atas
keputusan yang diambil
dan
memiliki
komitmen
untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan bersama. Keempat, menyesuaikan sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di sekolah. Keputusan yang diambil pada tingkat sekolah akan lebih rasional
karena mereka tahu kekuatannya
sendiri,
terutama kekuatan keuangannya.
Kelima, mendorong
munculnya
pemimpin baru
di
sekolah.
Pengambilan
keputusan di sekolah tidak akan berjalan
dengan baik tanpa adanya peran
seorang pemimpin. Dalam MBS pemimpin akan muncul dengan sendirinya tanpa menunggu penunjukan dari birokrasi pendidikan. Keenam,mmeningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksiblitas komunikasi setiap komunitas sekolah dalam rangka pencapaian kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam setiap
pemecahan masalah di sekolah
telah memper-lancar alur komunikasi di antara warga sekolah.
Myers dan Stonehill (1993:2) mengemukakan bahwa manfaat MBS adalah sebagai berikut:
(1) memperkenankan orang-orang
yang berkompeten di sekolah untuk mengambil keputusan
yang
akan
dapat
meningkatkan pembelajaran; (2) memberikan kesempatan kepada komunitas sekolah dalam
keterlibatan mengambil
keputusan kunci (prioritas); (3) memfokuskan akuntabilitas pada keputusan;
(4)
mengarah pada kreativitas yang lebih besar dalam mendesain
program; (5) mengatur ulang sumber daya untuk mendukung
tujuan yang dikembangkan di sekolah; (6) mengarahkan pada penganggaran yang realistik, yang mendorong orang tua dan guru
semakin menyadari akan status keuangan sekolah,
batasan pembelanjaan, dan biaya dari setiap
program; serta (7) meningkatkan
moril
para
guru
dan
memelihara
kepemimpinan barupada setiap
tingkat.
Selanjutnya, Kubick & Kathelin (1988:2)
mengungkapkan bahwa kelompok
kerja The American Association of School Administrators, the National Association of Elementary School Principals, and the National Association of Secondary School Principals (1988) mengidentifikasi sembilan manfaat dari MBS. Pertama, secara formal MBS dapat mengenali
keahlian dan kompetensi
orang-orang yang bekerja di
sekolah dalam rangka membuat keputusan
untuk meningkatkan
pembelajaran. Kedua, melibatkan guru,
staf
sekolah, dan masyarakat
dalam
pengambilan
keputusan. Ketiga, meningkatkan moral para guru.
Keempat,
menfokuskan pada akuntabilitas pengambilan keputusan.
Kelima, membawa keuangan dan sumber daya
pembelajaran dalam
mengembangkan tujuan pembelajaran
di
setiap
sekolah. Keenam, memelihara
dan merangsang pemimpin baru di semua
tingkatan. Ketujuh, meningkatkan kuantitas dan kualitas komunikasi.
Kedelapan, masing-masing
sekolah lebih fleksibel dalam mendesain
program menuju
kreativitas yang lebih
besar dan dalam memenuhi kebutuhan para siswanya; Kesembilan, penganggaran menjadi
nyata dan lebih realistik.
Sementara itu, situs program Managing Basic Education (MBE) mengungkapkan
bahwa manfaat MBS bagi sekolah adalah menciptakan rasa tanggung jawab
melalui administrasi sekolah
yang lebih terbuka.
Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan
baik untuk membuat Rencana
Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka
pada
papan
sekolah.
Keterbukaan
ini
telah
meningkatkan
kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang
tua dan masyarakat terhadap
sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan
kenaikan sumbangan orang tua untuk
menunjang sekolah.
Di samping itu, pelaksanaan PAKEM
(pembelajaran aktif, kreatif, efektif,
dan menyenangkan)
atau
pembelajaran kontekstual dalam MBS,
mengakibatkan
peningkatan kehadiran anak di sekolah,
karena mereka senang belajar.
Latihan
Demikianlah paparan
tentang motif, tujuan dan manfaat diterapkannya MBS. Untuk memantapkan
penguasaan Anda atas materi yang telah dipelajari, jawablah pertanyaan dalam latihan berikut ini dengan bahasa Anda
sendiri.
1.
Sebutkan motif
diterapkannya MBS.
2.
Sebutkan dan uraikan
secara ringkas tujuan diterapkannya MBS.
3.
Sebutkan dan uraikan
secara singkat manfaat dan
diterapkannya MBS.
4.
Jelaskan pengertian
pengambilan keputusan yang partisipatif,
transparan
dan
akuntabel.
Sudah selesai?
Bagus! Silakan bandingkan jawaban
Anda dengan kunci jawaban
latihan di bawah ini.
1.
Terdapat beberapa motif diterapkannya MBS, diantaranya adalah motif ekonomi,
profesional, politik, efisiensi administrasi, finansial,
prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
Kedelapan
motif
diterapkannya
MBS
adalah
untuk
meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan yang setinggi-tingginya, baik menyangkut
kualitas
pembelajaran,
kurikulum, sumber
daya
manusia, tenaga kependidikan lainnya, maupun
pelayanan pendidikan.
2.
Tujuan diterapkannya
MBS pada dasarnya untuk memandirikan
atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian
kewenangan
kepada sekolah (otonomi) dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif, transparan, dan
akuntabel
dalam kerangka meningkatkan
kualitas pendidikan.
3.
Manfaat diterapkannya MBS adalah sebagai berikut:
(1) memperkenankan orang- orang yang memiliki kompetensi di sekolah untuk
mengambil keputusan ang akan dapat meningkatkan pembelajaran; (2) memberikan
kesempatan kepada komunitas sekolah (guru, staf sekolah, orang
tua dan
masyarakat) dalam keterlibatan mengambil keputusan kunci (prioritas); (3) memfokuskan
akuntabilitas pada keputusan; (4) mengarahkan
kepada kreativitas dan fleksibilitas yang lebih
besar dalam mendesain
program
sehingga dapat memenuhi kebutuhan
siswa; (5) mengatur ulang sember daya untuk mendukung
tujuan yang dikembangkan di sekolah; (6) mengarahkan pada penganggaran yang realistik yang mendorong orang
tua dan guru semakin menyadari akan status keuangan sekolah, batasan
pembelanjaan dan biaya dari setiap
program; (7) meningkatkan moral para guru dan memelihara
kepemimpinan baru pada setiap tingkat; (8) meningkatkan kuantitas, kualitas,
dan fleksibilitas komunikasi diantara komunitas sekolah.
4.
Pengambilan keputusan yang partisipatif artinya
suatu pengambilan keputusan yang melibatkan warga sekolah,
orang tua dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Transparansi dalam
pengambilan keputusan adalah
keterbukaan terhadap segala sesuatu yang dihasilkan dari proses pengambilan
keputusan yang partisipatif. Sedangkan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan adalah pertanggungjawaban atas
semua yang dihasilkan dari keputusan dan pelaksanaannya sesuai wewenang dan tanggung
jawab yang diperolehnya.
Rangkuman
Pada hakikatnya muara penerapan MBS adalah untuk
meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, baik menyangkut kualitas
pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia maupun tenaga kependidikan lainnya,
dan pelayanan pendidikan. Beberapa aspek
yang dijadikan
motif diterapkannya MBS di sekolah, adalah motif ekonomi,
profesional, politik, efisiensi administrasi,
finansial, prestasi siswa, akuntabilitas, dan efektivitas sekolah.
Selanjutnya, tujuan diterapkannya MBS bermuara pada lebih leluasa dan berdayanya sekolah
(otonomi atau mandiri)
dalam
mengelola
sumber
daya yang dimiliki secara efektif dan efisien, serta mendorong sekolah untuk
melakukan pengambilan keputusan yang tepat secara partisipatif, transparan,
dan akuntabel dalam mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Dengan
MBS, sekolah mempunyai tanggung jawab yang besar dalam pengelolaan pendidikan dan pembelajaran
di
sekolah, sesuai dengan kondisi
sekolah
masing-masing.
Penerapan MBS memiliki manfaat, terutama dalam hal: (1) memperkenankan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk
mengambil keputusan yang akan dapat meningkatkan pembelajaran;
(2) memberikan
kesempatan kepada komunitas
sekolah
(guru,
staf
sekolah, orang tua dan masyarakat) dalam keterlibatan mengambil keputusan kunci (prioritas);
(3) memfokuskan akuntabilitas pada keputusan; (4) mengarahkan pada kreativitas
dan fleksibilitas yang lebih besar dalam mendesain program sehingga dapat memenuhi
kebutuhan siswa;
(5)
mengatur ulang sember
daya
untuk mendukung
tujuan yang dikembangkan
di sekolah; (6) mengarahkan pada penganggaran yang realistik yang mendorong
orang tua dan guru semakin
menyadari akan status keuangan
sekolah, batasan pembelanjaan dan biaya dari setiap program; (7)
meningkatkan moral para
guru
dan
memelihara kepemimpinan baru pada setiap
tingkat; serta (8) meningkatkan kuantitas, kualitas, dan fleksibiltas komunikasi di antara
komunitas sekolah.
Tes Formatif 2
Kerjakanlah tes formatif 2 ini dengan cara memberi tanda silang (X) pada salah satu pilihan jawaban yang menurut
Anda paling benar.
1. Berikut ini merupakan motif
diterapkannya
MBS
yang
berkaitan
langsung
dengan sekolah, kecuali:
A. Efisiensi administrasi C. Politik
B. Prestasi D.
Finansial
2. Manajemen berbasis sekolah merupakan
alat untuk menempatkan dan memberi- kan wewenang kepada sekolah dalam mengalokasikan sumber daya secara
efektif untuk menemukan kebutuhan para siswa. Motif penerapan
MBS
tersebut
termasuk motif ......
A. Finansial
sekolah C.
Prestasi sekolah
B. Efisiensi
sekolah D.
Efektivitas sekolah
3.
Memandirikan atau memberdayakan
sekolah
melalui pemberian kewenangan kepada sekolah
(otonomi) dan mendorong
sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan
secara partisipatif, transparansi dan akuntabilitas dalam kerangka meningkatkan
kualitas pendidikan merupakan ...
A. motif diterapkannya MBS C. Manfaat MBS
B. Tujuan
MBS D.Pengertian
MBS
4.
Berikut
merupakan tujuan dari MBS, kecuali:
A. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber
daya yang tersedia.
B. Sekolah menjadi ringan pekerjaannya karena banyak melibatkan
orang dalam pengambilan keputusan.
C. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
D. Meningkatkan
akuntabilitas sekolah kepada orang
tua,
masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
5. Tujuan
dari MBS adalah
‘memberdayakan’ sekolah. Berikut
hal-hal yang dapat memberdayakan
warga sekolah, kecuali:
A. pemberian tanggung jawab
B. memecahkan masalah
pekerjaan secara "teamwork",
C.
menghargai ide-ide
D. kontrol
yang ketat
6. Pengelolaan dan penggunaan semua input dalam bentuk
non-uang (jumlah dan jenis
buku,
peralatan, pengorganisasian kelas, metodologi, strategi pembelajaran, dan lain-lain) dikaitkan dengan hasil yang dicapai (output-
outcome) merupakan pengertian
dari konsep ....
A. Efektivitas C. Efisiensi
B. Mutu D.
Profesional
7.
Suatu pengambilan keputusan yang melibatkan warga sekolah, orang tua dan
masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan disebut pengambilan keputusan yang ...
A. akuntabilitas C. profesional
B. transparan D. partisipatif
8. “Sekolah dapat mengatur
ulang sember daya yang dimiliki untuk mendukung
tujuan yang dikembangkan di sekolah”. Pernyataan
tersebut merupakan
salah satu unsur dari ....
A. Tujuan MBS C.
Manfaat MBS
B. Motif MBS D.
Pengertian MBS
9.
Pengambilan keputusan yang partisipatif merupakan pengambilan keputusan yang melibatkan
wargasek olah dan masyarakat, serta takeholder
pendidikan. Unsur-unsur yang termasuk
dalam warga sekolah adalah ...
A. Guru C.
Siswa
B. Kepala Sekolah D. Dewan Pendidikan
10. Berikut merupakan
manfaat MBS diterapkan di sekolah, kecuali:
A.
Memberikan kesempatan kepada
komunitas sekolah
(guru, staf sekolah, orang tua dan masyarakat) dalam keterlibatan mengambil keputusan
yang prioritas.
B. Mengarahan kepada kreativitas dan fleksibilitas yang lebih besar dalam
mendesain program sehingga dapat memenuhi kebutuhan siswa;
C. Mengarahkan pada penganggaran yang realistik yang mendorong
orang tua dan guru semakin menyadari akan status keuangan
sekolah, batasan pembelanjaan dan biaya dari setiap program
D.
Memberdayakan komite sekolah
dan masyarakat terbatas pada penggalian dana.
Umpan Balik dan Tindak
Lanjut
Setelah mengerjakan Tes Formatif 2, bandingkanlah jawaban
Anda dengan kunci jawaban
yang terdapat pada akhir unit ini. Untuk mengetahui
tingkat
penguasaan Anda
terhadap materi ini, hitunglah jawaban yang
benar
dengan
menggunakan rumus:
Jumlah
jawaban yang benar
Tingkat penguasaan = x
100
10
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100 = baik sekali
80 – 89 = baik
70 – 79 = cukup
< 70 = kurang
Jika tingkat penguasaan Anda minimal 80%, maka Anda dinyatakan berhasil dengan baik. Anda dapat melanjutkan untuk mempelajari Unit 2. Sebaliknya, bila tingkat penguasaan Anda kurang dari 80%, silakan pelajari kembali uraian yang
terdapat dalam subunit sebelumnya, khususnya pada bagian
yang
belum
Anda
kuasai.
Kunci Jawaban Tes Formatif
Kunci Tes Formatif 1
1. D
pengembangan
2.
C penyelenggaraan pendidikan di sekolah merupakan tanggung
jawab sekolah tanpa harus melibatkan masyarakat.
3.
C memberikan kewenangan
kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan tanpa harus melibatkan
masyarakat dan stakeholder
pendidikan.
4. D
rencana pengembangan sekolah
5. A UU
No. 25 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
6. B
Kanada
7. D
Inggris
8. A
Hongkong
9. C model yang menekankan pada inisiatif sekolah dalam manajemen pendidikan
10. D peningkatan kewenangan kepada kepala sekolah dalam pengambilan keputusan tanpa melibatkan warga sekolah, orang tua dan masyarakat.
Kunci Tes Formatif 1
1. C
politik
2. D efektivitas
sekolah
3. C
Tujuan MBS
4.
B Sekolah
menjadi ringan pekerjaannya karena
banyak melibatkan orang dalam
pengambilan keputusan
5. D
kontrol yang ketat
6. A
efektif
7. D
partisipatif
8. C
Manfaat MBS
9. D
Dewan Pendidikan
10. D Memberdayakan
komite sekolah dan masyarakat
terbatas
pada
penggalian
dana
Daftar Pustaka
Abu-Duhou, I. 1999.
Scholl-Based Management. United
Nation Education Scientific and Cultural Organization, Paris: UNESCO.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Manajemen
Peningkatan Mutu BerbasisSekolah (MPMBS). Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Gamage, D. 2003. School-Based Management Leads Shared
Responsibility and Qualty in
Education. EDRS: New Orleans, LA.
Kubick & Katheleen. 1988. School-Based Management: ERIC Digest
Number EA 33. ERIC Clearinghouse on Educational Management Eugene OR: http://www.gov/ database/ERIC-DIGEST/index
Myers dan Stonehill. 1993. School-Based Management. Education Research Consumer Guide, Number 4, http://www.ed.gov/pubs/OR/consumerguides/ index.html
Nurkholis. 2005. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta:. Grasindo
Q/A for the
web/knowledge nugget. School-Based Management. Error! Hyperlink reference not valid. Error! Hyperlink reference not valid. BMQ&A/Q&ASMB.htm
Slamet PH. 2001. Manajemen Berbasis
Sekolah. Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan No. 27. http//www.pdk.go.id/jurnal/27/manajemen-berbasis-sekolah.htm
Undang-undang No. 25 Tahun
2000 tentang Rencana Strategis PembangunanNasional 2000-2004. Jakarta. Wohlsteeter & Mohrman. 1996. School-Based
Management: Strategies for Success, CPRE Finance Briefs. http:// www.ed.gov/pubs/CPRE/fb2sbm.html.
Glosarium
Akuntabilitas
|
:
|
adalah kemampuan
dalam memberikan informasi, penjelasan, pertanggungjawaban
kinerja kepada berbagai pihak yang
berkepentingan atau kepada pemangku
kepentingan pendidikan.
|
Desentralistik
|
:
|
suatu pengelolaan (manajemen) pendidikan yang didasarkan pada
potensi daerah atau sekolah.
|
Fleksibilitas
|
:
|
Keluwesan dalam mengelola, memanfaatkan
dan memberdayakan sumber
daya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu
sekolah.
|
MBS
|
:
|
singkatan dari manajemen
berbasis sekolah
|
Otonomi sekolah
|
:
|
kewenangan atau kemandirian sekolah yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus
diri (sekolah) sendiri, dan tidak
tergantung kepada yang lain baik
dalam program dan pendanaan.
|
Pemangku
kepentingan (Stakeholder)
|
:
|
pihak-pihak baik yang berupa perorangan maupun
kelembagaan yang mempunyai
hubungan kepentingan dengan sekolah,
yang. terdiri atas: orangtua siswa, pemerintah, dunia usaha dan industri, serta masyarakat lainnya.
|
Partisipatif
|
:
|
penciptaan
lingkungan yang terbuka
dan demokratik, yang memungkinkan warga sekolah (guru,
siswa, karyawan) dan masyarakat
(orang
tua
siswa,
tokoh masyarakat,
ilmuwan, usahawan, dan
sebagainya) terlibat
secara langsung
dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai
dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.
|
Sentralistik
|
:
|
suatu pengelolaan (manajemen) pendidikan yang diatur dan
dikendalikan oleh pemerintah pusat.
|
1 komentar:
CASINO, NJ | 82300-3393 - JMT Hub
The Casino at 광주 출장마사지 92300 S. Marks 경상남도 출장마사지 Blvd. Marks Blvd. Marksville, NJ 08401 진주 출장마사지 | 청주 출장샵 (609) 양산 출장마사지 317-5920. Website, Website, http://casino.org/visit/.
Posting Komentar